Psikolog: Jangan Paksakan Calistung di PAUD, Bisa Rusak Mental Anak

Jakarta Pendidikan membaca-menulis-berhitung (calistung) yang diajarkan pada pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga dijadikan tes saringan masuk SD dinilai tidak benar dan tidak wajar. Calistung bisa diajarkan di PAUD, asal tidak dipaksakan karena bisa merusak mental anak.

“Memang di Indonesia itu (calistung di PAUD) menjadi lumrah. Pertanyaannya sekarang kita mau memakai standar yang mana? Membiasakan yang benar atau membenarkan yang biasa? Indonesia sejak dulu itu membenarkan yang biasa. Ohh itu sudah biasa anak TK belajar menulis supaya bisa. Tetapi kalau dilihat standar konvensi internasional, misalnya di Finlandia, anak itu boleh membaca itu umur 7 tahun. Akhirnya belajar di TK standarnya,” jelas psikolog Kasandra Putranto.

Hal itu dikatakan Kasandra usai jumpa pers di Komnas Perlindungan Anak (PA), Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (6/6/2012).

Kasandra mengatakan, calistung bisa dan boleh saja diajarkan di PAUD, asal tidak wajib dan tidak dipaksakan. Karena kemampuan satu anak dengan anak yang lain berbeda-beda.

“Saya sebagai psikolog menyatakan, kalau anaknya mampu ya nggak apa-apa. Kalau anaknya nggak mampu itu yang menjadi masalah,” imbuhnya.

PAUD yang mengajarkan calistung, imbuhnya, meletakkan standar yang tinggi pada anak. Sehingga bila anak merasa tidak mampu, maka akan dianggap bodoh.

“Jadinya mereka diletakkan pada standar yang ketinggian, mereka semua teman-temannya harus bisa nulis. Jadi bisa dibayangin nggak konsep diri mereka kaya gimana? Misalkan, kamu bodoh, yang lainnya bisa kok kamu nggak bisa,” jelas dia.

Penilaian ‘bodoh’ bila tak mampu melakukan calistung di PAUD ini, bisa mengancam mental anak itu. Apalagi, jika calistung distandardisasikan di PAUD.

“Itulah yang saya bilang, membenarkan yang biasa bukan yang benar. Sudah jelas nggak benar tapi dibiasakan. Problemnya adalah memang akhirnya ada bahayanya. Nah kalau anak ikut contoh itu maka akan merusak konsep diri mereka. Memang sih di satu sisi bagus, karena kita punya standar yang tinggi. Tapi bagaimana yang tidak mampu? Itu kan bisa merusak mental mereka,” jelas Kasandra.

Sebelumnya dalam detikhealth, Komnas PA bahkan merilis data pada Maret 2012 lalu bahwa terjadi 2.386 kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik 98% dibanding tahun lalu. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan tetek bengek seperti les, sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita.

“Negara gagal memberi jaminan perlindungan kepada anak-anak. Kalau kita lihat sistem kurikulum di PAUD, anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung baru bisa masuk SD. Padahal harusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan saja seperti bersosialisasi dan bergaul,” kata Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam acara diskusi pers di Plaza Bapindo, Jakarta (20/3/2012).

Arist menyoroti kurikulum PAUD yang terlalu kaku ini membuat anak-anak menjadi tertekan. Ia juga menegaskan menegaskan bahwa mutu pendidikan di Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam. Salah satu alasannya adalah karena anak-anak tidak diberikan alternatif kurikulum selain yang diajarkan di sekolah.

“Tuntutan-tuntutan ini menyebabkan anak-anak menjadi stres. Orangtua banyak membebani dan menuntut anak-anaknya dengan berbagai macam kegiatan. Namun orangtua ini juga tidak siap menjadi orangtua karena alasan sibuk,” kata Arist.

Anak-anak yang stres justru tidak akan berkembang sebab mereka rentan depresi dan terjerumus dalam perilaku berbahaya. Orangtua sebaiknya memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih aktifitasnya. Selain itu, orangtua harus sering-sering melakukan komunikasi dengan anak-anaknya secara kekeluargaan, bukan hanya menyuruh dan memarahi.

sumber: detik.com

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *